Saat ini dunia kesehatan di Indonesia sedang mengalami sebuah tantangan besar dalam hal pemerataan dan penyebaran pelayanan kesehatan terutama bidang tenaga Kedokteran. Sebagai negara maju Indonesia merupakan salah satu negara yang besar dengan banyaknya jumlah kepulauan yang tersebar sepanjang mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Tentunya wilayah yang besar ini tidak diiringi dengan pemerataan jumlah dokter spesialis sehingga menjadikan kesejahteraan pelayanan kesehatan di Indonesia belum optimal.
Hampir seluruh Rumah Sakit kita membutuhkan banyak sekali tenaga dokter spesialistik, terutama dokter yang mau masuk kedaerah-daerah terpencil di bagian negara ini, akan tetapi masalahnya adalah para lulusan dokter dan dokter spesialis kita banyak yang tidak mau mengabdi didaerah terpencil, Ungkap Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes –RI) Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moleok, SpM (K).
Statement tersebut di tegaskan pada saat beliau memberikan keynote speech dihadapan ratusan audience dalam Seminar dan Lokakarya Pendidikan Spesialis dan Subspesialis yang bertajuk “Integrasi Penyelenggaraan Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis Berdasarkan Undang-Undang Dikdok 2013 Untuk Menjamin Independensi Profesi dan Tercapainya Standar Akademik Berorientasi pada Pelayanan Kesehatan yang Prima” yang dipusatkan di Gedung Widyaloka – Universitas Brawijaya, pada Kamis (23/2/17).
Berdasarkan data yang kami himpun, sebanyak kurang lebih 937 Rumah Sakit dengan berbagai tipe di Indonesia, masih mengalami kekurangan sebesar 2.484 tenaga dokter spesialis. Data tersebut dapat kita hitung dengan rincian: 460 dokter spesialis anak, 388 spesialis Penyakit Dalam, 546 spesialis Bedah, 74 spesialis Anasthesi, 225 spesialis Radiologi, 125 Spesialis Patologi Klinik, 219 spesialis Bedah Medic, dan 202 dokter spesialis Patologi Anatomi.
Lebih rinci Menkes memaparkan bahwa rasio dokter spesialis adalah 12,6 per 100.000 penduduk (per 31 Desember 2015) sudah mencapai target rencana pengembangan tenaga kesehatan Tahun 2011-2025 yakni sebesar 12,2 per 100.000 penduduk. Namun demikian terdapat disparitas yang cukup besar antar provinsi di Indonesia. Rasio dokter spesialis terendah ada di Provinsi Papua dengan rasio 3,0 per 100.000 penduduk, sedangkan rasio dokter spesialis tertinggi ada di provinsi DKI Jakarta dengan rasio 52,2 per 100.000 penduduk.
Kekurangan jumlah tersebut bukan karena tenaga dokter kita sedikit tetapi penempatannya tidak merata karena mayoritas lulusan dokter tidak mau ditugaskan kedaerah perbatasan atau bahkan pedalaman yang jauh dari pusat perkotaan. Masalah ini tidak hanya terjadi di daerah saja, Di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta saja, ada seribu dokter spesialis tapi tidak satupun mau tinggal dan mengabdi di Kepulauan Seribu, tutur Guru Besar Universitas Indonesia ini.
Menteri Kesehatan dalam orasinya mengangkat tema “Penguatan Pelayanan Kesehatan Spesialistik Melaui Integrasi Penyelenggaraan Pendidikan” dengan kerangka penyajian sebagai berikut antara lain: Analisis situasi dan Tantangan pembangunan kesehatan, Strategi dan Arah Kebijakan Pelayanan Kesehatan, Kebijakan Kementerian Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Spesialistik, Harmonisasi Pendidikan dengan Pelayanan Kesehatan Spesialistik.
Kementerian Kesehatan terus mengupayakan berbagai program untuk memeratakan distribusi tenaga kesehatan, agar layanan kesehatan dapat lebih dijangkau masyarakat, antara lain melalui:
1) Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) merupakan upaya untuk meningkatkan kemahiran dan pemandirian dalam melaksanakan praktik kedokteran berupa proses pelatihan keprofesian pra-registrasi yang dikenal di berbagai negara sebagai internship atau housemanship. Internsip dapat dikatakan sebagai proses pemantapan mutu profesi dokter dalam menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan.
Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 dan perkembangan global dalam etika praktik kedokteran mensyaratkan bahwa pasien tidak boleh dijadikan objek praktik mahasiswa kedokteran. Hal ini dilakukan untuk menghormati hak-hak azasi pasien. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya perubahan mendasar dalam pengendalian praktik kedokteran sehingga berdampak pada proses pendidikan dokter.
Pada Tahun 2016, sebanyak 9.542 orang telah mengikuti PIDI, terdapat peningkatan bila dibandingkan Tahun 2015 yang diikuti sebanyak 8.296 orang, kata Menkes.
2) Nusantara Sehat (NS) merupakan program penempatan tenaga kesehatan berbasis tim ke daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Sejak mulai diberangkatkan pada April 2015, sebanyak 1.422 tenaga kesehatan (251 tim) telah diberangkatkan ke daerah perifer di 28 provinsi dan 91 kabupaten/kota.
Kemenkes memanggil para tenaga kesehatan secara online untuk mendaftar dalam NS. Saya bangga ribuan tenaga kesehatan menyatakan kesediaan mengabdi di pelosok nusantara. Namun, saya sangat menyayangkan, mengapa dokter hanya sedikit yang mau ikut daftar? ujar Menkes.
3) Wajib Kerja bagi Dokter Spesialis (WKDS) merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi maldistribusi dokter spesialis. Saat ini, pemerintah telah menetapkan kebijakan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) melalui Perpres No. 4 Tahun 2017 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2017 lalu. Pada 2017, ditargetkan sebanyak 1.250 dokter spesialis akan melaksanakan WKDS.
Saya sangat mengapresiasi dukungan perhimpunan profesi dokter spesialis obgyn, spesialis anak, spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, dan spesialis anastesi dalam program Wajib Kerja Dokter Spesialis, jelas Menkes.
4) Bantuan Biaya Pendidikan PPDS/PPDGS Kementerian Kesehatan. Sejak Tahun 2008 sampai dengan 2016 penerima bantuan biaya pendidikan Kemenkes untuk PPDS dan PPDGS sebanyak 17 angkatan. Jenis spesialisasi terbanyak penerima bantuan adalah pendidikan spesialis penyakit dalam, spesialis anak, dan spesialis kebidanan.
Kami mengharapkan kepada penerima bantuan, agar kembali bertugas ke daerah yang telah mengirim. Memang masih ada juga yang sudah dibantu tetapi tidak kembali ke daerah yang mengirim. Jangan jadi seperti Malin Kundang, tidak baik, seloroh Menkes.
Di akhir paparannya, Menkes menyatakan bahwa selain dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, hal ini juga perlu ditopang dengan upaya penguatan pelayanan kesehatan melalui: penguatan regionalisasi sistem rujukan; program peningkatan akses berupa pemenuhan sarana-prasarana, peningkatan kompetensi SDM kesehatan dan pemenuhan alat kesehatan, serta program peningkatan mutu yang terdiri dari akreditasi RS dan akreditasi Puskesmas.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) Dr. dr. Sri Andarini,M.Kes dalam sesi wawancaranya menegaskan, FKUB pada saat awal penerimaan mahasiswa telah membuat surat pernyataan kesediaan yang harus diisi oleh setiap mahasiswa dan setelah mereka lulus mereka harus bersedia kami tempatkan diwilayah atau daerah-daerah timur mulai dari Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai ke Papua.
Sehingga berdasarkan surat kesediaan tersebut, kita bisa menjalankan sistem bagi lulusan dokter spesialis kami yang akan mengikuti ikatan dinas selama satu tahun untuk mengabdi dimana proses pengabdian mereka ditanggung oleh Kemenkes, tutur mantan Pembantu Dekan Bidang Akademik FKUB tersebut.
Pada kesempatan yang sama Rektor UB, Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS juga menegaskan, masalah utama yang dihadapi FKUB saat ini adalah kurangnya SDM yang tidak memenuhi rasio antara dosen akademis dan kilns dengan mahasiswa.
Namun untuk menunjang dan menambah dosen klinis maka FKUB akan melakukan pemberian Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) pada para praktisi klinis yang juga mengajar di FKUB (dokter yang praktik Klinik di Rumah Sakit) sehingga diharapkan nantinya kualitas dan Kuantitas pengajar atau SDM di FKUB rasionya akan terpenuhi. (An4nk – HumasFKUB – Sumber: Website Kemenkes.go.id (Humas/Biro Komunikasi Kemenkes) dan beberapa sumber media.red)